LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN
KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN EFUSI PLEURA
OLEH:
ADISTY PUTRI WIRA UTAMI
16.901.1335
PROGRAM PROFESI NERS
STIKES WIRA MEDIKA PPNI BALI
TAHUN 2017/2018
A.
KONSEP
DASAR PENYAKIT
1.
DEFINISI
Efusi pleura adalah istilah yang
digunakan bagi penimbunan cairan dalam rongga pleura.
(Price C Sylvia, 1995)
Efusi pleura merupakan suatu gejala yang
serius dan dapat mengancam jiwa penderita. Efusi pleura yaitu suatu keadaan
terdapatnya cairan dengan jumlah berlebihan dalam rongga pleura. Efusi pleura
dapat di sebabkan antara lain karena tuberkulosis, neo plasma atau karsinoma,
gagal jantung, pnemonia, dan infeksi virus maupun bakteri (Price & Wilson 2005).
Efusi pleura adalah pengumpulan cairan
dalam ruang pleura yang terletak diantara permukaan visceral dan parietal,
proses penyakit primer jarang terjadi tetapi biasanya merupakan penyakit
sekunder terhadap penyakit lain. Secara normal, ruang pleural mengandung
sejumlah kecil cairan (5 sampai 15ml) berfungsi sebagai pelumas yang
memungkinkan permukaan pleural bergerak tanpa adanya friksi (Smeltzer C
Suzanne, 2002).
Efusi pleural adalah penumpukan cairan
di dalam ruang pleural, proses penyakit primer jarang terjadi namun biasanya
terjadi sekunder akibat penyakit lain. Efusi dapat berupa cairan jernih, yang
mungkin merupakan transudat, eksudat, atau dapat berupa darah atau pus
(Baughman C Diane, 2000).
2.
EPIDEMIOLOGI
Karena merupakan tanda
dari suatu penyakit maka dari segi data kasus tidak ada angka pasti yang
spesifik untuk kasus efusi pleura tetapi yang ada hanyalah angka dari angka
kejadian dari kasus-kasus tertentu seperti sekitar 20-25% efusi pleura
disebabkan karena tuberkulosis khususnya pada negara berkembang termasuk
Indonesia. Dari berbagai penyebab ini keganasan merupakan sebab yang terpenting
ditinjau dari kegawatan paru dan angka ini berkisar antara 43-52%. Namun
dipihak lain ada yang mengatakan insidens terjadinya efusi pleura karena
pneumoni sekitar 36-57%. Distibusi seks untuk efusi pleura pada umumnya wanita
lebih banyak dari pria, sebaliknya yang disebabkan oleh tuberkulosis paru pria
lebih banyak dari wanita. Umur terbanyak untuk efusi pleura karena TB adalah
21-30 tahun (30,26%).
Efusi pleura sering terjadi di
negara-negara yang sedang berkembang, salah satunya di Indonesia. Hal ini lebih
banyak diakibatkan oleh infeksi tuberkolosis. Bila di negara-negara barat,
efusi pleura terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif, keganasan, dan
pneumonia bakteri. Di Amerika efusi pleura menyerang 1,3 juta org/th. Di
Indonesia TB Paru adalah peyebab utama efusi pleura, disusul oleh keganasan.
2/3 efusi pleura maligna mengenai wanita. Efusi pleura yang disebabkan karena
TB lebih banyak mengenai pria. Mortalitas dan morbiditas efusi pleura ditentukan
berdasarkan penyebab, tingkat keparahan dan jenis biochemical dalam cairan
pleura.
3.
ETIOLOGI
Efusi pleura memiliki banyak penyebab
yaitu : hambatan resorbsi cairan dari rongga pleura, karena adanya bendungan
seperti pada dekompensasi kordis, penyakit ginjal, tumor mediatinum, sindroma
meig (tumor ovarium) dan sindroma vena kava superior.
Pembentukan cairan yang berlebihan,
karena radang (tuberculosis, pneumonia,virus), bronkiektasis, abses amuba
subfrenik yang menembus ke rongga pleura, karena tumor dimana masuk cairan
berdarah dan karena trauma. Di Indonesia 80% karena tuberculosis. Penyebab lain
dari efusi pleura adalah:
a.
Gagal jantung
b.
Kadar protein
yang rendah
c.
Sirosis
d.
Pneumonia
e.
Tuberculosis
f.
Emboli paru
g.
Tumor
h.
Cidera di dada
i.
Obat-obatan (hidralazin,
prokainamid, isoniazid, fenitoin klorpromazin, nitrofurantoin, bromokriptin,
dantrolen, prokarbazin).
j.
Pemasangan
selang untuk makanan atau selang intravena yang kurang baik.
4.
PATOFISIOLOGI
Dalam keadaan normal hanya terdapat
10-20 ml cairan di dalam rongga pleura. Jumlah cairan di rongga pleura tetap,
karena adanya tekanan hidrostatis pleura parietalis sebesar 9 cm H2O. Akumulasi
cairan pleura dapat terjadi apabila tekanan osmotik koloid menurun misalnya
pada penderita hipoalbuminemia dan bertambahnya permeabilitas kapiler akibat
ada proses keradangan atau neoplasma, bertambahnya tekanan hidrostatis akibat
kegagalan jantung dan tekanan negatif intra pleura apabila terjadi atelektasis
paru (Alsagaf H, Mukti A, 1995, 145).
Effusi pleura berarti terjadi
pengumpulan sejumlah besar cairan bebas dalam kavum pleura. Kemungkinan
penyebab efusi antara lain (1) penghambatan drainase limfatik dari rongga
pleura, (2) gagal jantung yang menyebabkan tekanan kapiler paru dan tekanan
perifer menjadi sangat tinggi sehingga menimbulkan transudasi cairan yang
berlebihan ke dalam rongga pleura (3) sangat menurunnya tekanan osmotik kolora
plasma, jadi juga memungkinkan transudasi cairan yang berlebihan (4) infeksi
atau setiap penyebab peradangan apapun pada permukaan pleura dari rongga
pleura, yang memecahkan membran kapiler dan memungkinkan pengaliran protein
plasma dan cairan ke dalam rongga secara cepat (Guyton dan Hall , Egc, 1997,
623-624).
Efusi pleura akan menghambat fungsi paru
dengan membatasi pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan
bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan
tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin
akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata. Kondisi efusi pleura
yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas
didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial Oksigen (Pa
O2)≤ 60 mmHg atau tekanan partial Karbondioksida arteri (Pa Co2) ≥ 50 mmHg
melalui pemeriksaan analisa gas darah.
5.
KLASIFIKASI
1.
Efusi pleura transudat
Pada efusi jenis transudat ini
keseimbangan kekuatan menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah.
Mekanisme terbentuknya transudat karena peningkatan tekanan hidrostatik (CHF),
penurunan onkotik (hipoalbumin) dan tekanan negative intra pleura yang
meningkat (atelektaksis akut).
Ciri-ciri cairan:
a.
Serosa jernih
b.
Berat jenis
rendah (dibawah 1.012)
c.
Terdapat
limfosit dan mesofel tetapi tidak ada neutrofil
d.
Protein < 3%
Penimbunan cairan transudat dalam rongga
pleura dikenal dengan hydrothorax, penyebabnya:
a.
Payah jantung
b.
Penyakiy ginjal
(SN)
c.
Penyakit hati
(SH)
d.
Hipoalbuminemia
(malnutrisi, malabsorbsi)
2.
Efusi pleura eksudat
Eksudat ini terbentuk sebagai akibat
penyakit dari pleura itu sendiri yang berkaitan dengan peningkatan
permeabilitas kapiler (missal pneumonia) atau drainase limfatik yang berkurang
(missal obstruksi aliran limfa karena karsinoma). Ciri cairan eksudat:
a.
Berat jenis >
1.015 %
b.
Kadar protein
> 3% atau 30 g/dl
c.
Ratio protein
pleura berbanding LDH serum 0,6
d.
LDH cairan
pleura lebih besar daripada 2/3 batas atas LDH serum normal
e.
Warna cairan
keruh
Penyebab dari efusi eksudat ini adalah:
a.
Kanker : karsinoma bronkogenik, mesotelioma atau
penyakit metastatic ke paru atau permukaan pleura.
b.
Infark paru
c.
Pneumonia
d.
Pleuritis virus
Ditemukan literatur yang menyebutkan
klasifikasi dari efusi pleura tetapi ada beberapa jurnal yang membedakan
menjadi efusi pleura non maligna dan efusi pleura maligna.
·
Efusi pleura non maligna
Dalam keadaan fisiologis cairan pleura
berkisar antara 10-20cc. Sedangkan tekanan hidrotatik intra pleura adalah 9 cm
H2O. Jadi dasar pembentukan cairan ini adalah perbedaan tekanan hidrostatik
lebih besar dari pada tekanan osmotik.
Pada pleura visceralis terjadi sebaliknya
dimana perbedaan tekanan osmotik lebih besar dari pada tekanan hidrostatik.
Pada pleura visceralis terjadi pengisapan cairan.
·
Efusi pleura maligna
Pada efusi pleura maligna faktor-faktor
fisiologis tersebut tidak lagi dapat diperhitungkan karena mekanisme
pembentukan cairan tidak lagi sesuai dengan keseimbangan yang terjadi pada
efusi pleura non maligna dimana terjadi pembentukan cairan yang begitu cepat.
6.
MANIFESTASI
KLINIK
a. Tidak
enak badan
b. Demam
c. Nafas
pendek
d.
Takipnea
e. Perkusi
: pekak
f.
Dispneu bervariasi
g. Nyeri
pleuritik biasanya mendahului efusi sekunder akibat penyakit pleura
h. Trachea
menjauhi sisi yang mengalami efusi
i. Ruang
interkostal menonjol (efusi yang berat)
j.
Pergerakan dada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena efusi
k. Perkusi
meredup diatas efusi pleura
l.
Egofoni diatas paru-paru yang tertekan dekat efusi
m. Suara
nafas berkurang diatas efusi pleura
n.
Fremitus vokal dan dada berkurang
o. Bunyi pendek
dan lemah diarea yang mengalami efusi
p. Nyeri
dada pada pleuritis (biasanya bersifat tajam dan semakin memburuk jika
penderita batuk atau bernafas dalam).
Manifestasi klinik lainnya yaitu:
·
Adanya
timbunan cairan mengakibatkan perasaan sakit karena pergesekan, setelah cairan
cukup banyak rasa sakit hilang. Bila cairan banyak, penderita akan sesak napas.
·
Adanya
gejala-gejala penyakit penyebab seperti demam, menggigil, dan nyeri dada
pleuritis (pneumonia), panas tinggi (kokus), subfebril (tuberkulosisi), banyak
keringat, batuk, banyak riak.
·
Deviasi
trachea menjauhi tempat yang sakit dapat terjadi jika terjadi penumpukan cairan
pleural yang signifikan.
7.
PEMERIKSAAN
FISIK
·
Inspeksi pada
pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung, iga mendatar,
ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun. Pendorongan mediastinum
ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari posisi trakhea dan ictus
kordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya dyspneu.
·
Palpasi : Fremitus
tokal menurun terutama untuk effusi pleura yang jumlah cairannya > 250 cc.
Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit.
·
Perkusi : Suara
perkusi redup sampai peka tegantung jumlah cairannya. Bila cairannya tidak
mengisi penuh rongga pleura, maka akan terdapat batas atas cairan berupa garis
lengkung dengan ujung lateral atas ke medical penderita dalam posisi duduk.
Garis ini disebut garis Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling jelas di bagian
depan dada, kurang jelas di punggung.
·
Auskultasi Suara
nafas menurun sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin
tipis, dan dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin
saja akan ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar
batas atas cairan.
8.
PEMERIKSAAN
DIAGNOSTIK
a. Pemeriksaan
radiologik (Rontgen dada), pada permulaan didapati menghilangnya sudut
kostofrenik. Bila cairan lebih 300ml, akan tampak cairan dengan permukaan
melengkung. Mungkin terdapat pergeseran di mediastinum.
b. CT
scan dada, untuk melihat dengan jelas keadaan
paru-paru dan cairan serta bisa menunjukkan adanya pneumoni, abses paru
atau tumor.
c. Ultrasonografi
dada, membantu menentukan lokasi dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit
sehingga bisa dilakukan pengeluaran cairan.
d. Torakosentesis
/ pungsi pleura untuk mengetahui kejernihan, warna, biakan tampilan, sitologi,
berat jenis. Pungsi pleura diantara linea aksilaris anterior dan posterior,
pada sela iga ke-8. Didapati cairan yang mungkin serosa (serotorak), berdarah
(hemotoraks), pus (piotoraks) atau kilus (kilotoraks). Bila cairan serosa
mungkin berupa transudat (hasil bendungan) atau eksudat (hasil radang).
e. Cairan
pleural dianalisis dengan kultur bakteri, pewarnaan gram, basil tahan asam (untuk
TBC), hitung sel darah merah dan putih, pemeriksaan kimiawi (glukosa, amylase,
laktat dehidrogenase /LDH, protein), analisis sitologi untuk sel-sel malignan,
dan pH.
f. Biopsi
pleura mungkin juga dilakukan jika dengan torakosentesis tidak dapat ditentukan
penyebabnya dengan cara mengambil contoh lapisan pleura sebelah luar untuk
dianalisa.
g. Bronkoskopi
kadang dilakukan untuk membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul.
h. Sitologi
untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya
dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan tersebut
merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan
oleh faktor sistemik yang mengubah keseimbangan antara pembentukan dan
penyerapan cairan pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli
paru, sirosis hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor
lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, infeksi
virus, dan keganasan.
9.
PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan
pengobatan adalah untuk menemukan penyebab dasar, untuk mencegah penumpukan
kembali cairan, dan untuk menghilangkan ketidaknyamanan serta dispneu.
Pengobatan spesifik ditujukan pada penyebab dasar (co; gagal jantung kongestif,
pneumonia, sirosis). Berikut beberapa penatalaksanaan untuk klien dengan efusi
pleura yaitu:
·
Torasentesis
dilakukan untuk membuang cairan, untuk mendapatkan specimen guna keperluan
analisis dan untuk menghilangkan disneu.
·
Bila penyebab
dasar malignansi, efusi dapat terjadi kembali dalam beberapa hari tatau minggu,
torasentesis berulang mengakibatkan nyeri, penipisan protein dan elektrolit,
dan kadang pneumothoraks. Dalam keadaan ini kadang diatasi dengan pemasangan
selang dada dengan drainase yang dihubungkan ke system drainase water-seal atau
pengisapan untuk mengevaluasiruang pleura dan pengembangan paru.
·
Agen yang secara
kimiawi mengiritasi, seperti tetrasiklin dimasukkan kedalam ruang pleura untuk
mengobliterasi ruang pleural dan mencegah akumulasi cairan lebih lanjut.
·
Pengobatan
lainnya untuk efusi pleura malignan termasuk radiasi dinding dada, bedah
plerektomi, dan terapi diuretic.
Terapi yang di berikan adalah :
a. Pada
empiema diberikan antibiotik dan dilakukan pengeluaran nanah.
Jika
nanahnya sangat kental atau telah terkumpul di dalam bagian fibrosa, maka
pengaliran nanah lebih sulit dilakukan dan sebagian dari tulang rusuk harus
diangkat sehingga bisa dipasang selang yang lebih besar. Kadang perlu dilakukan
pembedahan untuk memotong lapisan terluar dari pleura (dekortikasi).
b. Pengaliran
cairan dan pemberian obat antitumor kadang mencegah terjadinya pengumpulan
cairan lebih lanjut.
c. Jika
pengumpulan cairan terus berlanjut, bisa dilakukan penutupan rongga pleura.
Seluruh cairan dibuang melalui sebuah selang, lalu dimasukkan bahan iritan
(misalnya larutan atau serbuk doxicycline) ke dalam rongga pleura. Bahan iritan
ini akan menyatukan kedua lapisan pleura sehingga tidak lagi terdapat ruang
tempat pengumpulan cairan tambahan.
d. Jika
darah memasuki rongga pleura biasanya dikeluarkan melalui sebuah selang.
e. Melalui
selang tersebut bisa juga dimasukkan obat untuk membantu memecahkan bekuan
darah (misalnya streptokinase dan streptodornase).
f. Jika
perdarahan terus berlanjut atau jika darah tidak dapat dikeluarkan melalui
selang, maka perlu dilakukan tindakan pembedahan.
g. Pengobatan
untuk kilotoraks dilakukan untuk memperbaiki kerusakan saluran getah bening.
h. Bisa
dilakukan pembedahan atau pemberian obat antikanker untuk tumor yang menyumbat
aliran getah bening
10. KOMPLIKASI
1.
Fibrotoraks
Efusi
pleura yang berupa eksudat yang tidak ditangani dengan drainase yang baik akan
terjadi perlekatan fibrosa antara pleura parietalis dan pleura viseralis.
Keadaan ini disebut dengan fibrotoraks. Jika fibrotoraks meluas dapat
menimbulkan hambatan mekanis yang berat pada jaringan-jaringan yang berada
dibawahnya. Pembedahan pengupasan(dekortikasi) perlu dilakukan untuk memisahkan
membrane-membran pleura tersebut.
2.
Atalektasis
Atalektasis
adalah pengembangan paru yang tidak sempurna yang disebabkan oleh penekanan
akibat efusi pleura.
3.
Fibrosis paru
Fibrosis
paru merupakan keadaan patologis dimana terdapat jaringan ikat paru dalam
jumlah yang berlebihan. Fibrosis timbul akibat cara perbaikan jaringan sebagai
kelanjutan suatu proses penyakit paru yang menimbulkan peradangan. Pada efusi
pleura, atalektasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan penggantian jaringan
paru yang terserang dengan jaringan fibrosis.
4.
Kolaps Paru
Pada
efusi pleura, atalektasis tekanan yang diakibatkan oleh tekanan ektrinsik pada
sebagian / semua bagian paru akan mendorong udara keluar dan mengakibatkan
kolaps paru.
5.
Empiema
Kumpulan
nanah dalam rongga antara paru-paru dan membran yang mengelilinginya (rongga
pleura). Empiema disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari paru-paru dan
menyebabkan akumulasi nanah dalam rongga pleura.
2. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1.
Pengkajian
a.
B1 (Breath)
Inspeksi pada pasien effusi pleura bentuk hemithorax yang sakit mencembung,
iga mendatar, ruang antar iga melebar, pergerakan pernafasan menurun.
Pendorongan mediastinum ke arah hemithorax kontra lateral yang diketahui dari
posisi trakhea dan ictus kordis. RR cenderung meningkat dan Px biasanya
dyspneu. Fremitus tokal
menurun terutama untuk
effusi pleura yang
jumlah cairannya >
250 cc.
Disamping itu pada palpasi juga ditemukan pergerakan dinding dada yang
tertinggal pada dada yang sakit. Suara perkusi redup sampai peka tegantung
jumlah cairannya. Bila cairannya tidak mengisi penuh rongga pleura, maka akan
terdapat batas atas cairan berupa garis lengkung dengan ujung lateral atas ke
medical penderita dalam posisi duduk. Garis ini disebut garis
Ellis-Damoisseaux. Garis ini paling
jelas di bagian
depan dada, kurang
jelas di punggung. Auskultasi Suara nafas menurun
sampai menghilang. Pada posisi duduk cairan makin ke atas makin tipis, dan
dibaliknya ada kompresi atelektasis dari parenkian paru, mungkin saja akan
ditemukan tanda-tanda auskultasi dari atelektasis kompresi di sekitar batas
atas cairan. Ditambah lagi dengan tanda i – e artinya bila penderita diminta
mengucapkan kata-kata maka akan terdengar suara e sengau, yang disebut egofoni.
Pada sistim ini terdapat nafas dangkal, pembentukan mucus yang berlebih, sulit
mengelurkan secret, meningkatnya viskositas atau kekentalan secret. Perlu kita
kaji juga jika cairan lebih dari 500cc biasanya akan kita dapati penurunan
pergerakan hemi torak yang sakit, fremitus suara dan suara nafas melemah.
Cairan yang lebih dari 1000cc dapat menyebabkan dada cembung dan egofoni
(dengan syarat cairantidak memenuhi seluruh rongga pleura). Jika cairan lebih
dari 2000cc, suara nafas
melemah/menurun, mungkin menghilang
sama sekali dan
mediasinum terdorong ke arah paru yang sehat. Tetapi perlu kita ketahui
bahwa cairan pleura yang kurang dari 300cc tidak member tanda-tanda fisik yang
nyata
b. B2
Blood
Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, normal berada pada ICS
– 5 pada linea medio claviculaus
kiri selebar 1
cm. Pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui
ada tidaknya pembesaran jantung.
Palpasi untuk menghitung
frekuensi jantung (health
rate) dan harus diperhatikan kedalaman dan teratur
tidaknya denyut jantung, perlu juga memeriksa adanya thrill yaitu getaran ictus
cordis. Perkusi untuk menentukan batas jantung dimana daerah jantung terdengar
pekak. Hal ini bertujuan untuk menentukan adakah pembesaran jantung atau
ventrikel kiri. Auskultasi untuk menentukan suara jantung I dan II tunggal atau
gallop dan adakah bunyi jantung III yang merupakan gejala payah jantung serta
adakah murmur yang menunjukkan adanya peningkatan arus turbulensi darah. Adakah
peningkatan tekanan osmotic koloid yang menurun dalam darah misalnya pada
pasien hipoalbuminemi. Apakah terjadi peningkatan permeabilitas kapiler
misalnya pada keradangan atau neoplasma, tekanan hidrostatis dipembuluh darah ke
jantung/vena pulmonalis misalnya pada kegagalan jantung kiri, tekanan negative
intra pleura.
c. B3 Brain
Pada inspeksi tingkat kesadaran perlu
dikaji Disamping juga diperlukan pemeriksaan GCS adalah composmentis
atau somnolen atau comma. refleks patologis, dan bagaimana dengan refleks
fisiologisnya. Selain itu fungsi-fungsi sensoris juga perlu dikaji seperti
pendengaran, penglihatan, penciuman, perabaan dan pengecapan. Faktor usia
(sudah tua/usia anak-anak) dapat menyebabkan atelektasis obstruksi dan kondisi
tubuh dengan kesadaran menurun (pengaruh anastesi) yang mengakibatkan kelemahan
otot-otot nafas sehingga tidak dapat mengeluarkan sumbatan pada jalan nafas
atau bisa juga menghambat rangsangan batuk. Dan pada gas-gas anastesi dan
oksigen yang di absorpsi juga bisa dengan cepat akan mempersingkat ventiasi
kolateral.
d. B4
Bladder
Pada pemeriksaan blader perlu diperhatikan
adanya retensi urinaria, keseimbangan input dan output cairan yang seimbang.
Adakah nyeri tekan atau lepas pada blast.
e.
B5 Bowel
Pada inspeksi perlu diperhatikan, apakah
abdomen membuncit atau datar, tepi perut menonjol atau tidak, umbilicus
menonjol atau tidak, selain itu juga perlu di inspeksi ada tidaknya
benjolan-benjolan atau massa. Auskultasi
untuk mendengarkan suara
peristaltik usus dimana
nilai normalnya 5-35
kali permenit. Pada palpasi perlu juga diperhatikan, adakah nyeri tekan
abdomen, adakah massa (tumor, feces), turgor kulit perut untuk mengetahui
derajat hidrasi pasien, apakah hepar teraba, juga apakah lien teraba. Perkusi
abdomen normal tympanik, adanya massa padat atau cairan akan menimbulkan suara
pekak (hepar, asites, vesika urinarta, tumor)
f. B6
Bone
Pada inspeksi perlu diperhatikan adakah
edema peritibial, palpasi pada kedua ekstremetas untuk mengetahui tingkat
perfusi perifer serta
dengan pemerikasaan capillary refil
time. Dengan inspeksi dan palpasi
dilakukan pemeriksaan kekuatan otot kemudian dibandingkan antara kiri dan
kanan. Dan perlu kita ketahui juga adakah gangguan tentang batas kekuatan
pasian dalam melakukan kegiatan aktivitas sehari-hari. Inspeksi mengenai
keadaan umum kulit higiene, warna ada tidaknya lesi pada kulit, pada pasien
dengan efusi biasanya akan tampak sianosis akibat adanya kegagalan sistem
transport O2. Pada palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin,
hangat, demam). Kemudian tekstur kulit (halus-lunak-kasar) serta turgor kulit
untuk mengetahui derajat hidrasi seseorang.
g. Pemeriksaan
Diagnostik dan Penunjanng
1) Rontgen
dada
Rontgen dada biasanya merupakan langkah
pertama yang dilakukan untuk mendiagnosis efusi pleura, yang hasilnya
menunjukkan adanya cairan.
2) CT
scan dada
CT scan dengan jelas menggambarkan
paru-paru dan cairan dan bisa menunjukkan adanya pneumonia, abses paru atau
tumor
3) USG
dada
USG bisa membantu menentukan lokasi
dari pengumpulan cairan yang jumlahnya sedikit, sehingga bisa dilakukan
pengeluaran cairan.
4) Torakosentesis
Penyebab dan jenis dari efusi
pleura biasanya dapat diketahui dengan melakukan pemeriksaan terhadap contoh
cairan yang diperoleh melalui torakosentesis (pengambilan cairan melalui sebuah
jarum yang dimasukkan diantara sela iga ke dalam rongga dada dibawah pengaruh
pembiusan lokal).
5) Biopsi
Jika dengan torakosentesis tidak
dapat ditentukan penyebabnya, maka dilakukan biopsi, dimana contoh lapisan
pleura sebelah luar diambil untuk dianalisa.
Pada sekitar 20% penderita,
meskipun telah dilakukan pemeriksaan menyeluruh, penyebab dari efusi pleura
tetap tidak dapat ditentukan.
6) Bronkoskopi
Bronkoskopi kadang dilakukan untuk
membantu menemukan sumber cairan yang terkumpul.
7) Analisa
cairan pleura
Efusi pleura didiagnosis
berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan di konfirmasi dengan foto
thoraks. Dengan foto thoraks posisi lateral decubitus dapat diketahui adanya
cairan dalam rongga pleura sebanyak paling sedikit 50 ml, sedangkan dengan
posisi AP atau PA paling tidak cairan dalam rongga pleura sebanyak 300 ml. Pada
foto thoraks posisi AP atau PA ditemukan adanya sudut costophreicus yang tidak
tajam. Bila efusi pleura telah didiagnosis, penyebabnya harus diketahui,
kemudian cairan pleura diambil dengan jarum, tindakan ini disebut
thorakosentesis. Setelah didapatkan cairan efusi dilakukan pemeriksaan seperti:
a. Komposisi
kimia seperti protein, laktat dehidrogenase (LDH), albumin, amylase, pH, dan
glucose
b. Dilakukan
pemeriksaan gram, kultur, sensitifitas untuk mengetahui kemungkinan terjadi
infeksi bakteri
c. Pemeriksaan
hitung sel
8. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
8. Sitologi untuk mengidentifikasi adanya keganasan
Langkah selanjutnya
dalam evaluasi cairan pleura adalah untuk membedakan apakan cairan tersebut
merupakan cairan transudat atau eksudat. Efusi pleura transudatif disebabkan
oleh faktor sistemik yang mengubah keseimbangan antara pembentukan dan
penyerapan cairan pleura. Misalnya pada keadaan gagal jantung kiri, emboli
paru, sirosis hepatis. Sedangkan efusi pleura eksudatif disebabkan oleh faktor
lokal yang mempengaruhi pembentukan dan penyerapan cairan pleura. Efusi pleura
eksudatif biasanya ditemukan pada Tuberkulosis paru, pneumonia bakteri, infeksi
virus, dan keganasan.
2.
Diagnosa Keperawatan
a.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan
Efusi Pleura
b.
Ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan nyeri, ansietas, posisi tubuh, kelelahan dan hiperventilasi
c.
Nyeri akut berhubungan dengan efusi pleura
d.
Hipertermia
berhubungan dengan pengeluaran endrogen dan pirogen
ditandai dengan demam.
e.
Gangguan
pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan nyeri
pleuritik
f.
Ketidakefektifan bersihan jalan napas yang berhubugan
dengan sekret kental, kelemahan dan upaya untuk batuk
g. Resiko infeksi berhubungan dengan tindakan
infasif pemasangan WSD
INTERVENSI
1.
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Efusi Pleura
Tujuan: gangguan pertukaran gas tidak terjadi
Kriteria : Bunyi napas jelas, AGD dalam batas normal, frekuensi napas 12-24/menit,
frekuensi nadi 60-100x/menit, tdk ada batuk, meningkatnya volume respirasi pada
spirometer insentif.
Mandiri :
a.
Kaji dipsnea, bunyi nafas, ekspansi
thoraks dan kelemahan
Rasional : TB paru mengakibatkan efek luas pada paru dari bagian kecil
sampai inflamasi difus yang luas, efusi pleura. Efeknya terhadap pernapasan
bervariasi dari ringan sampai depsnea, dan distress pernafasan.
b.
Evaluasi perubahan tingkat perubahan
tingkat kesadaran, catat sianosis, dan perubahan warna kulit, membran mukosa
dan kuku.
Rasional : akumulasi sekret dan berkurangnya jaringan paru yang sehat dapat
mengganggu oksigenasi organ vital dan jaringan tubuh.
c.
Tingkatkan tirah baring, batasi aktivitas,
dan bantu kebutuhan perawatan diri
Rasional : menurunkan konsumsi oksigen selama periode pernafassan dan dapat
menurunkan beratnya gejala.
d.
Kolaborasi:
-
Pemeriksaan AGD
Rasional : Penurunan kadar O2 (PO2) atau saturasi, dan peningkatan PCO2
menunjukkan intervensi perubahan program terapi.
-
Pemberian Kortikosteroid :
Rasional : Kortikosteroid mengurangi peradangan seperti pembengkakan.
2. Ketidakefektifan pola napas berhubungan
dengan nyeri, ansietas, posisi tubuh, kelelahan dan hiperventilasi
Tujuan / Hasil Pasien (kolaboratif) :
Menignkatkan / mempertahankan ekspansi paru untuk Oksigenasi / ventilasi
adekuat.
Kriteria: Pola pernapasan
yang efektif, ekspansi dada normal, dan tidak terjadi nyeri.
Mandiri :
a.
Identifikasi etiologi / faktor pencetus,
contoh kolaps spontan, trauma, keganasan, infeksi, komplikasi ventilasi
mekanik.
Rasional : Pemahaman penyebab kolaps paru perlu untuk pemasangan selang
dada yang tepat dan memilih tindakan terpeutik lain.
b.
Evaluasi fungsi pernapasan, catat kecepatan
/ pernapasan serak,dispnea, keluhan “ lapar udara ” terjadinya sianosis,
perubahan tanda vital.
Rasional : Distress pernapasan dan perubahan tanda vital dapat terjadi
sebagai akibat stress fisiologis dan nyeri atau dapat menunjukkan terjadinya
syok
c.
Awasi kesesuaian pola pernapasan bila
menggunakan ventilasi mekanik. Catat perubahan tekanan udara.
Rasional : Kesulitan bernapas dengan ventilator dan / atau peningkatan
tekanan jalan napas diduga memburuknya kondisi komplikasi (misalnya rupture
spontan dari bleb, terjadinya pneumotorak)
d.
Awasi pasang-surutnya air penampung. Catat
apakah perubahan menetap atau sementara.
Rasional : Botol penampung bertindak sebagai manometer intra pleural (
ukuran tekanan intrapleural);sehingga fluktuasi ( pasang surut ) menunjukan
perbedaan tekananantara inspirasi dan ekspirasi
e.
Posisikan sistem drainase selang untuk
fungsi optimal, contoh koil selang ekstra di tempat tidur, yakinkan selang
tidak terlipat atau menggantung di bawah saluran masuknya ke wadah drainase.
Alirkan akumulasi drainase bila perlu.
Rasional : Posisi tak tepat ataupengumpulan bekuan / cairan pada selang
mengubah tekanan negativyang diinginkan dan membuat evakuasi udara / cairan.
f.
Catat karakter / jumlah selang dada
Rasional : Berguna dalammengevaluasi perbaikan kondisi / terjadinya
komplikasi / perdarahanyang memerlukan upaya intervensi.
g.
Awasi/gambarkan seri GDA dan nadi
oksimetri. Kaji kapasitas vital/pengukuran volume tidal.
Rasional : Mengkaji status pertukaran gas dan ventilasi, perlu untuk
kelanjutan atau gangguan dalam terapi.
h.
Ajarkan napas dalam
Rasional : Memungkinkan pernapasan terkontrol
i.
Latih individu bernapas berlahan dan
efektif
Kolaborasi :
1)
Kaji seri foto torak
Rasional : Mengawasi kemajuan perbaikan hemotorak / pneumotorak dan
ekspansi paru. Mengidentifiasi kesalahan posisi selang endotrakeal mempengaruhi
inflasi paru.
2)
Konsultasi dengan ahli terapi pengobatan
dan dokter jika terjadi gagal bernapas dalam proses pengobatan.
Rasional : Ahli terapi pernapasan adalah
spesialis dalam perawatan pernapasan dan biasanya dilakukan sesuai dengan hasil
pemeriksaan fungsi paru dan fasilitas pengobatan yg ada
3. Nyeri akut berhubungan dengan efusi pleura
Tujuan:Mendemonstrasikan bebas
dari nyeri.
Kriteria : Tidak terjadi nyeri,
Napsu makan menjadi normal, ekspresi wajah rileks, dan suhu tubuh normal.
Mandiri :
a.
Amati perubahan suhu setiap 4 jam
Rasional : Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan yang terjadi maupun
penyimpangan yang terjadi
b.
Amati kultur sputum
Rasional : Untuk mengidentifikasi kemajuan-kemajuan yang terjadi maupun
penyimpangan yang terjadi
c.
Berikan tindakan untuk memberikan rasa
nyaman seperti mengelap bagian punggung pasien, mengganti alat tenun yg kering
setelah diaforesis, memberi minim hangat, lingkungan yg tenang dgn cahaya yg
redup dan sedatif ringan jika dianjurkan berikan pelembab pada kulit dan bibir.
Rasional : Tindakan tersebut akan meningkatkan relaksasi. Pelembab membantu
mencegah kekeringan dan pecah-pecah di mulut dan bibir.
d.
Lakukan tindakan-tindakan untuk mengurangi
demam seperti :
- Mandi air hangat
- Kompres air hangat
- Selimut yg tidak terlalu tebal
- Tingkatkan masukan cairan
Rasional : Mandi dgn air hangat dan selimut yg tdk terlalu tebal
memungkinkan terjadinya pelepasan panas secara konduksi dan evaporasi
(penguapan). Cairan membantu mencegah dehidrasi karena meningkatnya
metabolisme.
e.
Kolaborasi :
1)
Konsul pada dokter jika nyeri dan demam
tetap ada atau mungkin memburuk.
2)
2. Berikan antibiotik sesuai dengan
anjuran dan evaluasi keefektifannya
Rasional : Analgesik membantu mengontrol nyeri dengan memblok jalan
rangsang nyeri. Nyeri pleuritik yg berat sering kali memerlukan analgetik
narkotik untuk mengontrol nyeri lebih efektif
Hal tersebut merupakan tanda berkembagnya komplikasi.
4. Hipertermia berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh secara mendadak ditandai dengan demam.
Tujuan :
Setelah diberikan asuhan keperawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak
terjadi peningkatan suhu tubuh.
Kriteria hasil :
Hipertermi/peningkatan suhu tubuh dapat teratasi dengan proses infeksi
hilang.
Intervensi :
Mandiri
a.
Observasi tanda-tanda vital.
Rasional : Dengan mengobservasi tanda-tanda vital klien perawat dapat
mengetahui keadaan umum klien, serta dapat memantau suhu tubuh klien.
b.
Pemberian kompres hangat pada pasien
Rasional : Dengan pemberian
kompres hangat dapat menurunkan demam pasieen.
c.
Berikan minum per oral
Rasional : Klien dengan hipertermi akan memproduksi keringat yang berlebih
yang dapat mengakibatkan tubuh kehilangan cairan yang banyak, sehingga dengan
memberikan minum peroral dapat menggantikan cairan yang hilang serta menurunkan
suhu tubuh.
d.
Ganti pakaian yang basah oleh keringat
Rasional : Klien dengan hipertermi akan mengalami produksi keringat yang
berlebihan sehingga menyebabkan pakaian basah. Pakaian basah diganti untuk
mencegah pasien kedinginan dan untuk menjaga kebersihan serta mencegah
perkembangan jamur dan bakteri.
e.
Kolaborasi :
1)
Berikan obat penurun panas, misalnya
antipiretik.
Rasional : Obat tersebut digunakan untuk menurunkan demam dengan aksi
sentralnya pada hipotalamus.
2)
Berikan selimut pendingin
Rasional : Digunakan untuk mengurangi demam umumnya
lebih besar dari 39,5-400C pada waktu terjadi kerusakan/gangguan
pada otak.
5. Gangguan
pola tidur dan istirahat sehubungan dengan batuk yang menetap dan nyeri
pleuritik.
Tujuan : Tidak terjadi gangguan pola tidur dan
kebutuhan istirahat terpenuhi.
Kriteria hasil : Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan, pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.
Kriteria hasil : Pasien tidak sesak nafas, pasien dapat tidur dengan nyaman tanpa mengalami gangguan, pasien dapat tertidur dengan mudah dalam waktu 30-40 menit dan pasien beristirahat atau tidur dalam waktu 3-8 jam per hari.
Rencana tindakan :
a.
Beri
posisi senyaman mungkin bagi pasien.
Rasonal : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2 dan CO2.
Rasonal : Posisi semi fowler atau posisi yang menyenangkan akan memperlancar peredaran O2 dan CO2.
b.
Tentukan
kebiasaan motivasi sebelum tidur malam sesuai dengan kebiasaan pasien sebelum
dirawat.
Rasional : Mengubah pola yang sudah menjadi kebiasaan sebelum
tidur akan mengganggu proses tidur.
c.
Anjurkan
pasien untuk latihan relaksasi sebelum tidur.
Rasional : Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
Rasional : Relaksasi dapat membantu mengatasi gangguan tidur.
d.
Observasi
gejala kardinal dan keadaan umum pasien.
Rasional : Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.
Rasional : Observasi gejala kardinal guna mengetahui perubahan terhadap kondisi pasien.
6.
Ketidakefektifan
bersihan jalan napas yang berhubugan dengan sekret kental, kelemahan dan upaya
untuk batuk
Tujuan
: jalan nafas efektif
Kriteria
hasil : klien dapat mengeluarkan sekret tanpa bantuan, klien dapat
mempertahankan jalan napas, RR : 16-20X/ menit
a.
Kaji fungsi pernafasan seperti, bunyi nafas,
kecepatan, irama, dan kedalaman penggunaan otot aksesori.
Rasional : Penurunan bunyi nafas dapat menunjukan
atelektasis, ronkhi, mengi menunjukkan akumulasi sekret / ketidakmampuan untuk
membersihkan jalan nafas yang dapat menimbulkan penggunaan otot aksesori
pernafasan dan peningkatan kerja penafasan.
b.
Catat kemampuan untuk mengeluarkan mukosa / batuk
efektif.
Rasional ; Pengeluaran sulit jika sekret sangat tebal sputum
berdarah kental diakbatkan oleh kerusakan paru atau luka brongkial dan dapat
memerlukan evaluasi lanjut.
c.
Berikan klien posisi semi atau fowler tinggi, bantu
klien untuk batuk dan latihan untuk nafas dalam.
Rasional : Posisi membatu
memaksimalkan ekspansi paru dan men urunkan upaya pernapasan. Ventilasi
maksimal
d.
Bersihkan sekret dari mulut dan trakea.
Rasional : meningkatkan gerakan sekret kedalam jalan
napas bebas untuk dilakukan.
e.
Pertahanan masukan cairan seditnya 2500 ml / hari,
kecuali ada kontraindikasi
Rasional : Pemasukan tinggi cairan membantu untuk
mengecerkan sekret membuatnya mudah dilakukan.
f.
Berikan obat-obatan sesuai indikasi : agen mukolitik,
bronkodilator , dan kortikosteroid
Rasional : Membantu pengenceran
sekret, menurunkan kekentalan dan perlengketan paru.
7. Resiko
infeksi berhubungan dengan tindakan infasif pemasangan WSD
Tujuan : pasien tidak mengalami infeksi
Kriteria Hasil :
Tidak ada tanda-tanda infeksi (dolor, kalor, tumor, rubor, fungsio
laesa), TTV normal (TD 120/80mmHg, RR 16-24x/menit, N 60-100x/menit, suhu
36-37,50 C, Kadar leukosit 5000-10000 mm3
INTERVENSI :
1. Identifikasi tanda2 terjadi infeksi
Rasional : Infeksi
yang diketahui secara dini mudah diatasi sehingga tidak terjadi perluasan
infeksi
2.
Anjurkan klien dan
keluarga ikut menjaga kebersihan sekitar luka dan pemasangan alat serta
kebersihan lingkungan serta tekhnik mencuci tangan sebelum tindakan.
Rasional : Perilaku yang diperlukan
untuk mencegah penyebaran infeksi
3.
Lakukan perawatan luka pada pemasangan WSD.
Rasional : Luka yang terawat dan
bersih dapat mencegah terjadinya infeksi.
4. Berikan terapi antibiotic bila
diperlukan.
Rasional : Antibiotic digunkan untuk
mencegah infeksi
DAFTAR PUSTAKA
Baughman, C Diane. 2000. Keperawatan Medical Bedah. Jakarta :
EGC.
Doenges, E Mailyn. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan
Dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.
Edisi 3. Jakarta : EGC.
Hudak,Carolyn M. 1997. Keperawatan
Kritis : Pendekatan Holistic. Vol.1, Jakarta : EGC.
Purnawan J. dkk.1982. Kapita
Selekta Kedokteran, Ed2. Media Aesculapius. FKUI.
Price, Sylvia A. 2006. Patofisiologi
: Konsep Klinis Proses-Pross Penyakit, Ed4. Jakarta : EGC.
Smeltzer c Suzanne. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah. Ed8.
Vol.1. Jakarta :
Nanda
Diagnosis Keperawatan: Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. 2010. Jakarta: EGC
Komentar
Posting Komentar