BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Inkontinensia adalah ketidakmampuan menahan air kencing
yang dapat membuat permasalahan sosial, medik maupun ekonomi yang berkaitan
dengan kebersihan atau kesehatan seseorang.
Kejadian ini disebabkan karena ada kegagalan sistem kandung kemih
dan uretra
(vesikouretra) pada saat masukkanya urin secara berangsur-angsur dari ureter
(fase pengisian). Suatu struktur berotot yang mengatur pembukaan dan penutupan
saluran kemih (sfingter uretra interna) akan diatur oleh korteks serebri, yaitu
reseptor adrenergik saraf simpatis. Ia akan terangsang ketika terjadinya
peregangan yang cukup dari buli-buli, kemudian otot detrusor pada buli-buli
berkontraksi dan sfingter uretra akan berelaksasi kemudian terjadilah miksi.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa definisi inkontinensia?
2.
Apa etiologi inkontinensia?
3.
Apa
pathofisiology inkontinensia ?
4.
Apa klasifikasi inkontinensia?
5.
Bagaimana manifestasi klinis
inkontinensia?
6.
Bagaiamana pemeriksaan
diagnostic inkontinensia?
7.
Bagaiamana penanganan
inkontinensia?
8.
Bagaimana asuhan keperawatan
inkontinensia?
9.
Masalah dan Penyakit yang sering
dialami oleh lansia?
C.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui apa definisi inkontinensia.
2.
Untuk mengetahui apa
etiologi inkontinensia.
3.
Untuk mengetahui apa
klasifikasi inkontinensia.
4.
Untuk mengetahui
bagaimana manifestasi klinis inkontinensia.
5.
Untuk mengetahui bagaiamana
pemeriksaan diagnostic inkontinensia.
6.
Untuk mengetahui
bagaiamana penanganan inkontinensia.
7.
Untuk mengetahui bagaimana
asuhan keperawatan inkontinensia.
8.
Untuk mengetahui masalah dan
penyakit yang sering dialami oleh lansia.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Definisi
Inkontinensia
didefinisikan sebagai berkemih ( defekasi ) di luar kesadaran, pada waktu dan
tempat yang tidak tepat, dan menyebabkan masalah kebersihan atau social (
Watson, 1991 ). Terdapat dua aspek social yang sangat penting dalam definisi
inkontinensia ini. Inkontinensia yang diderita oleh klien mungkin tidak
menimbulkan sejumlah masalah yang nyata bagi teman atau keluarganya. Aspek
social yang lain yaitu adanya konsekuensi yang ditimbulkan inkontinensia
terhadap individu yang mengalminya, antara lain klien akan kehilangan harga
diri, juga merasa terisolasi dan depresi.
Faktor
yang berkonstribusi terhadap perkembangan inkontinensia adalah factor
fisiologis dan psikologis. Faktor psikologis dapat mencakup depresi dan apatis,
yang dapat meperberat kondisi sehingga sulit untuk mengatasi masalah kearah
normal. Beberapa kondisi psikiatrik dan kerusakan otak organic seperti
demensia, dapat juga menyebabkan inkontinensia. Faktor anatomis dan fisiologis
dapat mencakup kerusakan saraf spinal, yang menghancurkan mekanisme normal
untuk berkemih dan rasa ingin menghentikannya. Penglihatan yang kurang jelas,
infeksi saluran perkemihan, dan medikasi tertentu seperti diuretic juga
berhubungan dengan inkontinensia. Selain itu, wnaita yang melahirkan dan laki –
laki dengan protatism, cenderung mengalami kerusakan kandung kemih yang dapat
menyebabkan inkotinansia, akibat trauma atau pembedahan.
B.
Etiologi
Terdapat
sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan oleh semua
factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan utama pada lansia
adalah adanya “ ketidakstabilan kandung kemih “. Beberapa kerusakan persyarafan
mengakibatkan sesorang tidak mampu mencegah kontraksi otot kandung kemih secara
efektif ( otot detrusor ) dan mungkin juga dipersulit oleh masalah lain,
seperti keterbatasan gerak atau konfusi. Keinginan untuk miksi datang sangat
cepat dan sangat mendesak pada seseorang sehingga penderita tidak sempat pergi
ke toilet, akibatnya terjadi inkontinensia, kejadian yang sama mungkin dialami
pada saat tidur.
Pada wanita, kelemahan otot spingter
pada outlet sampai kandung kemih seringkali disebabkan oleh kelahiran multiple
sehingga pengeluaran urine dari kandung kemih tidak mampu dicegah selama masa
peningkatan tekanan pada kandung kemih. Adanya tekanan di dalam abdomen,
seperti bersin, batuk, atau saat latihan juga merupakan factor konstribusi.
Pembesaran
kelenjar prostat pada pria adalah penyabab yang paling umum terjadinya
obstruksi aliran urine dari kandung kemih. Kondisi ini menyebabkan
inkontinensia karena adanya mekanisme overflow. Namun, inkontinensia ini dapat
juga disebabkan oleh adanya obstruksi yang berakibat konstipasi dan juga adanya
massa maligna ( cancer ) dalam pelvis yang dialami oleh pria dan wanita. Akibat
dari obstruksi, tonus kandung kemih akan menghilang sehingga disebut kandung kemih
atonik. Kandung kemih yang kondisinya penuh gagal berkontraksi, akan tetapi
kemudian menyebabkan overflow, sehingga terjadi inkontinensia.
Apapun
penyebabnya, inkontinensia dapat terjadi saat tekanan urine di dalam kandung
kemih menguasai kemampuan otot spingter internal dan eksternal ( yang berturut
– turut baik secara sadar maupun tidak sadar ) untuk menahan urine, tetap
berada dalam kandung kemih
C.
Patofisiologi
Inkontinensia urine bisa disebabkan
oleh karena komplikasi dari penyakit infeksi saluran kemih, kehilangan kontrol
spinkter atau terjadinya perubahan tekanan abdomen secara tiba-tiba.
Inkontinensia bisa bersifat permanen misalnya pada spinal cord trauma atau
bersifat temporer pada wanita hamil dengan struktur dasar panggul yang lemah
dapat berakibat terjadinya inkontinensia urine. Meskipun inkontinensia urine
dapat terjadi pada pasien dari berbagai usia, kehilangan kontrol urinari
merupakan masalah bagi lanjut usia.
Proses
berkemih normal merupakan proses dinamis yang memerlukan rangkaian koordinasi
proses fisiologik berurutan yang pada dasarnya dibagi menjadi 2 fase. Pada
keadaan normal selama fase pengisian tidak terjadi kebocoran urine, walaupun
kandung kemih penuh atau tekanan intra-abdomen meningkat seperti sewaktu batuk,
meloncat-loncat atau kencing dan peningkatan isi kandung kemih memperbesar
keinginan ini. Pada keadaan normal, dalam hal demikian pun tidak terjadi
kebocoran di luar kesadaran. Pada fase pengosongan, isi seluruh kandung kemih
dikosongkan sama sekali. Orang dewasa dapat mempercepat atau memperlambat miksi
menurut kehendaknya secara sadar, tanpa dipengaruhi kuatnya rasa ingin kencing.
Cara kerja kandung kemih yaitu sewaktu fase pengisian otot kandung kemih tetap
kendor sehingga meskipun volume kandung kemih meningkat, tekanan di dalam
kandung kemih tetap rendah. Sebaliknya otot-otot yang merupakan mekanisme
penutupan selalu dalam keadaan tegang. Dengan demikian maka uretra tetap
tertutup. Sewaktu miksi, tekanan di dalam kandung kemih meningkat karena
kontraksi aktif otot-ototnya, sementara terjadi pengendoran mekanisme penutup
di dalam uretra. Uretra membuka dan urine memancar keluar. Ada semacam
kerjasama antara otot-otot kandung kemih dan uretra, baik semasa fase pengisian
maupun sewaktu fase pengeluaran. Pada kedua fase itu urine tidak boleh mengalir
balik ke dalam ureter (refluks).
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow..
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
Proses berkemih normal melibatkan mekanisme dikendalikan dan tanpa kendali. Sfingter uretra eksternal dan otot dasar panggul berada dibawah control volunter dan disuplai oleh saraf pudenda, sedangkan otot detrusor kandung kemih dan sfingter uretra internal berada di bawah kontrol sistem safar otonom,yang mungkin dimodulasi oleh korteks otak. Kandung kemih terdiri atas 4 lapisan, yakni lapisan serosa, lapisan otot detrusor, lapisan submukosa dan lapisanmukosa. Ketika otot detrusor berelaksasi, pengisian kandung kemih terjadi dan bila otot kandung kemih berkontraksi pengosongan kandung kemih atau proses berkemih berlangsung. otot detrusor adalah otot kontraktil yang terdiri atas beberapa lapisan kandung kemih. Mekanisme detrusor meliputi otot detrusor,saraf pelvis, medula spinalis dan pusat saraf yang mengontrol berkemih. Ketikakandung kemih seseorang mulai terisi oleh urin, rangsangan saraf diteruskan melalui saraf pelvis dan medula spinalis ke pusar saraf kortikal dan subkortikal. Pusat subkortikal (pada ganglia basal dan serebelum) menyebabkan kandung kemih berelaksasi sehingga dapat mengisi tanpa menyebabkan seseorang mengalami desakan untuk berkemih. Ketika pengisian kandung kemih berlanjut,rasa penggebungan kandung kemih disadari, dan pusat kortikal (pada lobusfrontal), bekerja menghambat pengeluaran urin. Gangguan pada pusat kortikaldan subkortikal karena obat atau penyakit dapat mengurangi kemampuan menunda pengeluaran urin. Komponen penting dalam mekanisme sfingter adalah hubungan urethra dengan kandung kemih dan rongga perut. Mekanisme sfingter berkemih memerlukan agulasi yang tepat antara urethra dan kandung kemih.Fungsi sfingter urethra normal juga tergantung pada posisi yang tepat dari urethra sehiingga dapat meningkatkan tekanan intra-abdomen secara efektif ditrasmisikan ke uretre. Bila uretra pada posisi yang tepat, urin tidak akan keluar pada saat tekanan atau batuk yang meningkatkan tekanan intra-abdomen. Mekanisme dasar proses berkemih diatur oleh refleks-refleks yang berpusat dimedula spinalis segmen sakral yang dikenal sebagai pusat berkemih. Pada fase pengisian kandung kemih, terjadi peningkatan aktivitas saraf otonom simpatis yang mengakibatkan penutupan leher kandung kemih, relaksasi dinding kandung kemih serta penghambatan aktivitas parasimpatis dan mempertahankan inversisomatik pada otot dasar panggul. Pada fase pengosongan, aktivitas simpatis dan somatik menurun, sedangkan parasimpatis meningkat sehingga terjadi kontraksi otot detrusor dan pembukaan leher kandung kemih. Proses reflek ini dipengaruhi oleh sistem saraf yang lebih tinggi yaitu batang otak, korteks serebri dan serebelum. Pada usia lanjut biasanya ada beberapa jenis inkontinensia urin yaitu ada inkontinensia urin tipe stress, inkontinensia tipe urgensi, tipe fungsional dan tipe overflow..
Inkontinensia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain:
Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih bocor bila batuk atau bersin. Terjadi hambatan pengeluaran urine dengan pelebaran kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas berlebihan. Seiring dengan bertambahnya usia, ada beberapa perubahan pada anatomi dan fungsi organ kemih, antara lain : melemahnya otot dasar panggul akibat kehamilan berkali-kali, kebiasaan mengejan yang salah, atau batuk kronis. Ini mengakibatkan seseorang tidak dapat menahan air seni. Selain itu, adanya kontraksi (gerakan) abnormal dari dinding kandung kemih, sehingga walaupun kandung kemih baru terisi sedikit, sudah menimbulkan rasa ingin berkemih. Penyebab Inkontinensia Urine (IU) antara lain terkait dengan gangguan di saluran kemih bagian bawah, efek obat-obatan, produksi urin meningkat atau adanya gangguan kemampuan/keinginan ke toilet. Gangguan saluran kemih bagian bawah bisa karena infeksi. Inkontinensia Urine juga bisa terjadi karena produksi urine berlebih karena berbagai sebab. Misalnya gangguan metabolik, seperti diabetes melitus, yang harus terus dipantau
Selain hal-hal yang disebutkan diatas inkontinensia urine juga terjadi akibat kelemahan otot dasar panggul, karena kehamilan, pasca melahirkan, kegemukan (obesitas), menopause, usia lanjut, kurang aktivitas dan operasi vagina. Penambahan berat dan tekanan selama kehamilan dapat menyebabkan melemahnya otot dasar panggul karena ditekan selama sembilan bulan. Proses persalinan juga dapat membuat otot-otot dasar panggul rusak akibat regangan otot dan jaringan penunjang serta robekan jalan lahir, sehingga dapat meningkatkan risiko terjadinya inkontinensia urine. Dengan menurunnya kadar hormon estrogen pada wanita di usia menopause (50 tahun ke atas), akan terjadi penurunan tonus otot vagina dan otot pintu saluran kemih (uretra), sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia urine. Faktor risiko yang lain adalah obesitas atau kegemukan, riwayat operasi kandungan dan lainnya juga berisiko mengakibatkan inkontinensia. Semakin tua seseorang semakin besar kemungkinan mengalami inkontinensia urine, karena terjadi perubahan struktur kandung kemih dan otot dasar panggul.
PATHWAY
D.
Klasifikasi inkontinensia
Meskipun berbagai penyebab
inkontinensia menghasilkan proses yang sederhana, tetapi inkontinensia perlu
dikategorisasikan, seperti yang telah ditetapkan oleh Perhimpunan Kontinensia
Internasional.
1. Inkontinensia stress
Terjadi akibat adanya tekanan di
dalam obdomen ( peningkatan intra badomen secar tiba – tiba yang menambah
tekanan yang emmang telah ada pada kandung kemih ). Oleh Karen itu, bersin
batuk, tertawa, latihan / olahraga, atau perubahan posisi dengan bangun dari
kursi atay berbalik dapat menyebabkan kehilangan sejumlah kecil urine tanpa
disadari atau kebocoran urine dari kandung kemih. Hal tersebut lebih sering
terjadi pada wanita karena kehilangan tonus otot dasar panggul yang dihubungkan
dengan melahirkan anak, prolaps pelvis seperti sistokel, uretra yang lebih
pendek secra natomis, dan kelemahan sfingter. Pada pria, prostatektomi adalah
salah satu penyebabnya.
2. Inkontinensia mendesak ( urgensi )
Inkontinensia ini dihubungkan dengan
keinginan yang kuat dan mendesak untuk berkemih dengan kemampuan yang kecil
untuk menunda berkemih. Berkemih dapat dilakukan, tetapi orang biasanya
berkemih sebelum sampai ke toilet. Mereka tidak merasakan adanya tanda untuk
berkemih. Pada inkontinensia urgensi, kandung kemih hampir penuh sebelum
kebutuhan utnuk berkemih dirasakan dan sebagai akibatnya, sejumlah kecil sampai
sedang urine keluar sebelum dapat mencapai toilet. Sensasi urgensi tersebut
disertai dengan frekuensi. Penyebabnya dihubungkan dengan ketidakstabilan otot
trusor ( aktivitas yang berlebihan ) oleh otot itu sendiri atau yang
dihubungkan dengan kondisi seperti sistitis, obstruksi aliran keluar, cedera
spinal pada bagian suprasakral, dan stroke. Antara 40 – 70% inkontinensia pada
lansia adalah jenis inkontinensia urgensi.
3. Inkontinensia Overflow
Inkontinensia karena aliran yang
berlebihan ( overflow ) adalah hilangnya urine yang terjadi dengan distensi
kandung kemih secara berlebihan yang terjadi pada 7 sampai 11% pasien
inkontinensia. Kapasitas berlebihan, yang menyebabkan tekanan kandung kemih
lebih besar daripada tekanan resistensi sfingter uretra. Karena otot detrusor
tidak berkontraksi, terjadi urine yang menetes dan penurunan pancaran urine
saat berkemih.
Inkontinensia karena aliran yang berlebihan
disebabkan oleh gangguan transmisi saraf dan oleh adanya obstruksi pada saluran
keluarnya urine seperti yang terjadi pada pembesaran prostat atau impaksi
fekal. Hal ini juga disebut hipnotik atau atonik kandung kemih. Residu urine
setelah berkemih lebih dari 150 sampai 200 ml.
Kondisi ini juga terjadi saat
aktivitas kandung kemih tidak ada dan muncul karena adanya beberapa obstruksi
yang menahan urine untuk keluar. MIksi normal tidak mungkin terjadi. Akhirnya,
tekanan dari urine di dalam kandung kemih mengatasi obstruksi dan terjadi
episode inkontinensia. Hal ini biasanya terjadi pada prostatism dan konstipasi
fekal.
4. Inkontinensia reflex
Akibat dari kondisi sistem saraf
pusat yang terganggu, seperti demensia. Dalam hal ini, pengosongan kandung
kemih dipengaruhi reflex yang dirangsang oleh pengisian. Kemampuan rasa ingin
berkemih dan berhenti berkemih tidak ada.
5. Inkontinensia fungsional
Inkontinensia fungsional disebabkan
oleh factor – factor selain dari disfungsi system urinaria. Struktur system
urinaria utuh dan fungsinya normal, tetapi factor eksternal mengganggu
kontinensia. Demensia, gangguan psikologis lain, kelemahan fisik atau
imobilitas, dan hambatan lingkungan seperti jarak kamar mandi yang jauh adalah
salah satu factor – factor ini. Hal ini terjadi saat terdapat factor yang
membatasi individu untuk kontinensia, bias berupa spinal, psikiatrik, atau
musculoskeletal.
6. Inkontinensia
Fekal
Meskipun biasanya bukan merupakan
tanda penyakit mayor, inkontinensia dapat menyebabkan gangguan yang serius pada
kesejahteraan fisik dan psikologis lansia. Inkontinensia fekal dapat terjadi
secara bertahap ( seperti demensia ) atau tiba – tiba ( seperti cedera medulla
spinalis ). Inkontinensia fekal biasanya akibat dari statis fekal dan impaksi
yang disertai penurunan aktivitas, diet yang tidak tepat, penyakit anal yang
nyeri yang tidak diobati, atau konstipasi kronis. Inkontinensia fekal juga
dapat disebabkan oleh penggunaan laksatifyang kronis, penurunan asupan cairan,
deficit neurologis dan pembedahan pelvic, prostat, atau rectum serta obat –
obatan seperti antihistamin, psikotropik, dan preparat besi.
Lansia yang mengalami inkontinensia
fekal mungkin tidak menyadari kebutuhan untuk defekasi. Jika ia tidak dapat
pergi ke kamar mandi atau menggunakan commode atau pispot sendiri, pasien dapat
kehilangan sensitifitas rectum akibat harus menahan desakan defekasi sementara
menunggu bantuan. Perubahan musculoskeletal dapat juga emmepngaruhi kemampuan
lansia untuk mengambil posisi yang nyaman, yang mempengaruhi frekuensi dan
keefektifan defekasi.
7. Inkontinensia
Urine
Inkontinensia urine bukan merupakan
tanda – tanda normal penuaan. Inkontinensia urine selalu merupakan suatu gejala
dari masalah yang mendasari. Jutaan lansia mengalami beberapa kehilangan
kendali volunteer. Masalah kontinensia urinarius dibagi menjadi akut atau
persisten dan dapat berkisar dari kehilangan control kandung kemih ringan
sampai inkontinensia total. Inkotinensia akut terjadi secara tiba – tiba
biasanya akibat dari penyakit akut. Sering terjadi pada individu yang dirawat
di rumah sakit, inkontinensia akut biasanya hilang setelah penyakit sembuh.
Inkontinensia akut juga dapat akibat dari obat, terapi, dan factor lingkungan .
Inkontinensia persisten diklasifikasikan menjadi inkontinensia urgensi, inkontinensia
stress, inkontinensia overflow, dan inkontinensia fungsional. Inkontinensia
urine dapat disebabkan oleh ketidakseimbangan endokrin, seperti hiperklasemia
dan hiperglikemia. Keterbatasan mobilitas atau penyakit yang menyebabkan
retensi urine dapat mencetuskan inkontinensia urine ata dapat akibat depresi
pada lansia
E.
Manifestasi Klinis
1) Melaporkan merasa desakan berkemih,
disertai ketidakmampuan mencapai kamar mandi karena telah mulai berkemih.
2) Desakan, frekuensi, dan nokturia.
3) Inkontinensia stress dicirikan
dengan keluarnya sejumlah kecil urine ketika tertawa, bersin, melompat, batuk
atau membungkuk.
4) Inkontinensia overflow, dicirikan
dengan volume dan aliran urine buruk atau lambat dan merasa menunda atau
mengejan.
5) Inkontinensia fungsional, dicirikan
dengan volume dan aliran urine yang adekuat.
6) Hiegiene buruk atau tanda – tanda
infeksi.
7) Kandung kemih terletak di atas
sifisis pubis.
F.
Pemeriksaan Diagnostic
1. Urinallisis, digunakan untuk melihat
apakan ada bakteri, darah dan glukosa dalam urine.
2. Uroflowmetry digunakan untuk
mengevaluasi pola berkemih dan menunjukkan obstruksi pintu bawah kandung kemih
dengan mengukur laju aliran ketika pasien berkemih.
3. Cysometri digunakan untuk mengkaji
fungsi neuromuscular kandung kemih dengan mengukur efisiensi reflex otot
detrusor, tekanan dan kapasitas intravesikal dan reaksi kandung kemih terhadap
rangsangan panas.
4. Urografi ekskretorik, disebut juga
pielografi intravena, digunakan untuk mengevaluasi struktur dan fungsi ginjal,
ureter, dan kandung kemih.
5. Volding cystourethrography digunakan
untuk mendeteksi ketidaknormalan kandung kemih dan uretra serta mengkaji
hipertrofi lobus prostat, striktur uretra, dan tahap gangguan uretra prostatic
stenosis ( pada pria ).
6. Uretrografi retrograde, digunakan
hampir secara ekslusif pada pria, membantu diagnosis striktur dan obstruksi
orifisium uretra.
7. Elektromiografi sfingter pada pasien
pria dapat menunjukkan pembesaran prostat atau nyeri, kemungkinan menanndakan
hipertrofi prostat jinak atau infeksi. Pemeriksaan tersebut juga dapat
menunjukkan impaksi yang mungkin menyebabkan inkontinensia.
8. Pemeriksaan vagina dapat
memperlihatkan kekeringan vagina atau vaginitis atrofi, yang menandakan
kekuranagn estrogen.
9. Katerisasi residu pescakemih
digunakan untuk menentukan luasnya pengosongan kandung kemih dan jumlah urine
yang tersisa dalam kandung kemih setelah pasien berkemih.
G.
Penanganan
Terapi
obat disesuaikan dengan penyebab inkontinensia. Antibiotik diresepkan jika
inkontinensia akibat dari inflamasi yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Obat
antikolinergik digunakan untuk memperbaiki fungsi kandung kemih dan mengobati
spasme kandung kemih jika dicurigai ada ketidakpstabilan pada otot detrusor.
Obat antipasmodik diresepkan untuk hiperrefleksia detrusor untuk menekan
aktivitas otot polos kandung kemih. Estrogen, baik dalam bentuk oral, topical,
maupun supositoria, digunakan jika ada vaginitis atrofik. Inkontinensia stree
kadang dapat diterapi dengan antidepresan.
Terapi
perilaku meliputi latihan berkemih, latihan kebiasaan dan waktu kemih,
penyegeraan berkemih, dan latihan otot panggul ( latihan kegel ). Pendekatan
yang dipilih disesuaikan dengan masalah pasien yang mendasari. Latihan
kebiasaan dan latihan berkemih sangat sesuai untuk pasien yang mengalami
inkontinensia urgensi. Latihan otot panggul sangat baik digunakan oleh pasien
dengan fungsi tidak dipilih untuk pasien yang mengalami inkontinensia sekunder
akibat overflow. Teknik tambahan, seperti umpan balik biologis dan rangsangan
listrik, berfungsi sebagai tambahan pada terapi perilaku.
Latihan
kebiasaan, bermanfaat bagi pasien yang mengalami demensia atau kerusakan
kognitif, mencakup menjaga jadwal berkemih yang tetap, biasanya setiap 2 sampai
4 jam. Tujuannya adalah pasien dapat berkemih sebelum secara tidak sengaja
berkemih. Latihan kembali berkemih dapat bermanfaat bagi pasien dengan fungsi
kognitif yang utuh. Latihan ini mengajarkan pasien utnuk menahan desakan
berkemih, secara bertahap meningkatkan kapasitas kandung kemih dan interval
anatara berkemih. Ketika kapasitas meningkat, urgensi dan frekuensi akan
berkurang.
Spiral
dapat direspkan untuk pasien wanita yang mengalami kelainan anatomis seperti
prolaps uterus berat atau relaksasi pelvic. Spiral tersebut dipakai secara
internal, seperti diafregma kontrasepsi, dan menstabilkan dasar kandung kemih
serta uretra, yang mencegah inkontinensia selama ketegangan fisik.
Penggunaan
kateter kondom jangka panjang – pendek dapat diresepkan bagi pasien pria utnuk
membantunya mencegah berkemih secara tidak sengaja dengan efektif. Penggunaan
kondom yang terus menerus harus dihindari, karena dapat menyebabkan ISK dan
iritasi kulit.
Sfingter
buatan yang terdiri atas sfingter bermanset silicon dengan balon yang mengatur
tekanan dan pompa karet dapat dipasang pada pasien pria setelah prostatektomi
radikal atau pada pasien wanita yang mengalami inkontinensia stress yang tidak
berespon terhadap terapi lain. Manset tersebut diletakkan disekitar leher
kandung kemih. Balon menahan cairan yang biasanya menegmbangkan manset. Pompa
karet diimplan ke skrotum atau labia. Ketika kandung kemih penuh dengan urine,
manset yang sensitive terhadap tekanan mencegah urine bocor disekitar leher
kandung kemih. Pasien menekan pompa untuk memindahkan cairan dari manset
kedalam balon yang diberi tekanan yang memungkinkan berkemih.
Perbaikan
dinding vagina anterior atau suspense retropubik kandung kemih dan uretra
dengan pembedahan dapat terjadi pilihan terapi bagi wanita yang emngalami
inkontinensia stress. Suspensi retropubik memperbaiki kandung kemih dan uretra ke
posisi intra-abdomen yang tepat.
Pada
pria yang megalami inkontinensia akibat hipertrofi prostat, penanganan dapat
mencakup reseksi transurethral prostat atau protatektomi terbuka. Pembedahan
dapat digunakan untuk menghilangkan lesi yang menyumbat yang menyebabkan
inkontinensia urgensi atau overflow.
Pasien
inkontinensia overflow akibat retensi urine dapat memanfaatkan kateterisasi
intermiten. Menghilangkan hambatan, memberikan lingkungan dengan pencahayaan
yang baik, dan memberikan orientasi yang sering ke kamar mandi akan membantu
pasien yang emngalami inkontinensia fungsional
H. Masalah dan Penyakit
yang sering dialami oleh lansia
1. Karakteristik Penyakit pada Lansia
a) Saling berhubungan satu sama lain
b) Penyakit sering multiple
c) Penyakit bersifat degenerative
d) Berkembang secara perlahan
e) Gejala sering tidak jelas
f) Sering bersama-sama problem psikologis dan
social
g) Lansia sangat peka terhadap penyakit infeksi
akut
h) Sering terjadi penyakit iatrogenik (penyakit
yang disebabkan oleh konsumsi obat yang tidak sesuai dengan dosis)
Hasil penelitian Profil Penyakit Lansia di 4
kota (Padang, Bandung, Denpasar, Makasar),
sebagai berikut:
sebagai berikut:
i)
Fungsi tubuh dirasakan menurun:
Penglihatan (76,24 %),
Daya ingat (69,39 %),
Sexual (58,04 %),
Kelenturan (53,23 %),
Gilut (51,12 %).
Penglihatan (76,24 %),
Daya ingat (69,39 %),
Sexual (58,04 %),
Kelenturan (53,23 %),
Gilut (51,12 %).
j)
Masalah kesehatan yang sering muncul
Sakit tulang (69,39 %),
Sakit kepala (51,15 %),
Daya ingat menurun (38,51 %),
Selera makan menurun (30,08 %),
Mual/perut perih (26,66 %),
Sulit tidur (24,88 %) dan
sesak nafas (21,28 %).
Sakit tulang (69,39 %),
Sakit kepala (51,15 %),
Daya ingat menurun (38,51 %),
Selera makan menurun (30,08 %),
Mual/perut perih (26,66 %),
Sulit tidur (24,88 %) dan
sesak nafas (21,28 %).
Permasalahan umum
a) Makin besar jumlah lansia yang berada dibawah
garis kemiskinan
b) Makin
melemahnya nilai kekerabatan sehinggan anggota keluaraga yang lanjut usia
kurang diperhatikan, dihargai dan dihormati.
c) Lahirnya kelompok masyarakat industry
d) Masih rendahnya kuantitas dan kualitas tenaga
profesional pelayanan lanjut usia
e) Belum
membudaya dan melembaganya kegiatan pembinaan kesejahteraan lansia
2. Kemunduran dan Kelemahan Lansia
Penampilan
penyakit pada lanjut usia (lansia) sering berbeda dengan pada dewasa muda,
karena penyakit pada lansia merupakan gabungan dari kelainan-kelainan
yang timbul akibat penyakit dan proses menua, yaitu proses menghilangnya secara
perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri atau mengganti diri
serta mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat
berthan terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang
diderita.
Demikian
juga, masalah kesehatan yang sering terjadi pada lansia berbeda dari orang
dewasa, yang menurut Kane dan Ouslander sering disebut dengan istilah 14 I,
yaitu immobility (kurang bergerak), instability (berdiri dan berjalan tidak
stabil atau mudah jatuh), incontinence (beser buang air kecil dan atau buang
air besar), intellectual impairment (gangguan intelektual/dementia), infection
(infeksi), impairment of vision and hearing, taste, smell, communication,
convalescence, skin integrity (gangguan pancaindera, komunikasi, penyembuhan,
dan kulit), impaction (sulit buang air besar), isolation (depresi), inanition
(kurang gizi), impecunity (tidak punya uang), iatrogenesis (menderita penyakit
akibat obat-obatan), insomnia (gangguan tidur), immune deficiency (daya tahan
tubuh yang menurun), impotence (impotensi).
Masalah
kesehatan utama tersebut di atas yang sering terjadi pada lansia perlu dikenal
dan dimengerti oleh siapa saja yang banyak berhubungan dengan perawatan lansia
agar dapat memberikan perawatan untuk mencapai derajat kesehatan yang
seoptimal mungkin.
Kurang bergerak: gangguan fisik, jiwa, dan faktor lingkungan
dapat menyebabkan lansia kurang bergerak. Penyebab yang paling sering adalah
gangguan tulang, sendi dan otot, gangguan saraf, dan penyakit jantung dan
pembuluh darah.
Instabilitas: penyebab terjatuh pada lansia dapat berupa
faktor intrinsik (hal-hal yang berkaitan dengan keadaan tubuh penderita) baik
karena proses menua, penyakit maupun faktor ekstrinsik (hal-hal yang berasal
dari luar tubuh) seperti obat-obat tertentu dan faktor lingkungan.
Akibat
yang paling sering dari terjatuh pada lansia adalah kerusakan bahagian tertentu
dari tubuh yang mengakibatkan rasa sakit, patah tulang, cedera pada kepala,
luka bakar karena air panas akibat terjatuh ke dalam tempat mandi.
Selain daripada itu, terjatuh menyebabkan lansia tersebut sangat membatasi pergerakannya.
Walaupun sebahagian lansia yang terjatuh tidak sampai menyebabkan kematian atau gangguan fisik yang berat, tetapi kejadian ini haruslah dianggap bukan merupakan peristiwa yang ringan. Terjatuh pada lansia dapat menyebabkan gangguan psikologik berupa hilangnya harga diri dan perasaan takut akan terjatuh lagi, sehingga untuk selanjutnya lansia tersebut menjadi takut berjalan untuk melindungi dirinya dari bahaya terjatuh.
Selain daripada itu, terjatuh menyebabkan lansia tersebut sangat membatasi pergerakannya.
Walaupun sebahagian lansia yang terjatuh tidak sampai menyebabkan kematian atau gangguan fisik yang berat, tetapi kejadian ini haruslah dianggap bukan merupakan peristiwa yang ringan. Terjatuh pada lansia dapat menyebabkan gangguan psikologik berupa hilangnya harga diri dan perasaan takut akan terjatuh lagi, sehingga untuk selanjutnya lansia tersebut menjadi takut berjalan untuk melindungi dirinya dari bahaya terjatuh.
Beser: beser buang air kecil (bak) merupakan salah
satu masalah yang sering didapati pada lansia, yaitu keluarnya air seni tanpa
disadari, dalam jumlah dan kekerapan yang cukup mengakibatkan masalah kesehatan
atau sosial. Beser bak merupakan masalah yang seringkali dianggap wajar dan
normal pada lansia, walaupun sebenarnya hal ini tidak dikehendaki terjadi baik
oleh lansia tersebut maupun keluarganya.
Akibatnya
timbul berbagai masalah, baik masalah kesehatan maupun sosial, yang kesemuanya
akan memperburuk kualitas hidup dari lansia tersebut. Lansia dengan beser bak
sering mengurangi minum dengan harapan untuk mengurangi keluhan tersebut,
sehingga dapat menyebabkan lansia kekurangan cairan dan juga berkurangnya
kemampuan kandung kemih. Beser bak sering pula disertai dengan beser buang air
besar (bab), yang justru akan memperberat keluhan beser bak tadi.
Gangguan intelektual: merupakan kumpulan gejala klinik yang meliputi
gangguan fungsi intelektual dan ingatan yang cukup berat sehingga menyebabkan
terganggunya aktivitas kehidupan sehari-hari.
Kejadian
ini meningkat dengan cepat mulai usia 60 sampai 85 tahun atau lebih, yaitu
kurang dari 5 % lansia yang berusia 60-74 tahun mengalami dementia (kepikunan
berat) sedangkan pada usia setelah 85 tahun kejadian ini meningkat mendekati 50
%. Salah satu hal yang dapat menyebabkan gangguan interlektual adalah depresi
sehingga perlu dibedakan dengan gangguan intelektual lainnya.
Infeksi: merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada lansia, karena selain sering didapati, juga gejala tidak khas bahkan asimtomatik yang menyebabkan keterlambatan di dalam diagnosis dan pengobatan serta risiko menjadi fatal meningkat pula.
Infeksi: merupakan salah satu masalah kesehatan yang penting pada lansia, karena selain sering didapati, juga gejala tidak khas bahkan asimtomatik yang menyebabkan keterlambatan di dalam diagnosis dan pengobatan serta risiko menjadi fatal meningkat pula.
Beberapa
faktor risiko yang menyebabkan lansia mudah mendapat penyakit infeksi karena
kekurangan gizi, kekebalan tubuh:yang menurun, berkurangnya fungsi berbagai
organ tubuh, terdapatnya beberapa penyakit sekaligus (komorbiditas) yang
menyebabkan daya tahan tubuh yang sangat berkurang. Selain daripada itu, faktor
lingkungan, jumlah dan keganasan kuman akan mempermudah tubuh mengalami
infeksi.
Gangguan pancaindera,
komunikasi, penyembuhan, dan kulit: akibat prosesd menua semua pancaindera berkurang fungsinya,
demikian juga gangguan pada otak, saraf dan otot-otot yang digunakan untuk
berbicara dapat menyebabkn terganggunya komunikasi, sedangkan kulit menjadi
lebih kering, rapuh dan mudah rusak dengan trauma yang minimal.
Sulit buang air besar
(konstipasi):
beberapa faktor yang mempermudah terjadinya konstipasi, seperti kurangnya
gerakan fisik, makanan yang kurang sekali mengandung serat, kurang minum,
akibat pemberian obat-obat tertentu dan lain-lain.
Akibatnya,
pengosongan isi usus menjadi sulit terjadi atau isi usus menjadi tertahan. Pada
konstipasi, kotoran di dalam usus menjadi keras dan kering, dan pada keadaan
yang berat dapat terjadi akibat yang lebih berat berupa penyumbatan pada usus
disertai rasa sakit pada daerah perut.
Depresi: perubahan status sosial, bertambahnya penyakit
dan berkurangnya kemandirian sosial serta perubahan-perubahan akibat proses
menua menjadi salah satu pemicu munculnya depresi pada lansia.
Namun
demikian, sering sekali gejala depresi menyertai penderita dengan
penyakit-penyakit gangguan fisik, yang tidak dapat diketahui ataupun
terpikirkan sebelumnya, karena gejala-gejala depresi yang muncul seringkali
dianggap sebagai suatu bagian dari proses menua yang normal ataupun tidak khas.
Gejala-gejala
depresi dapat berupa perasaan sedih, tidak bahagia, sering menangis, merasa
kesepian, tidur terganggu, pikiran dan gerakan tubuh lamban, cepat lelah dan
menurunnya aktivitas, tidak ada selera makan, berat badan berkurang, daya ingat
berkurang, sulit untuk memusatkan pikiran dan perhatian, kurangnya minat,
hilangnya kesenangan yang biasanya dinikmati, menyusahkan orang lain, merasa
rendah diri, harga diri dan kepercayaan diri berkurang, merasa bersalah dan
tidak berguna, tidak ingin hidup lagi bahkan mau bunuh diri, dan gejala-gejala
fisik lainnya.
Akan
tetapi pada lansia sering timbul depresi terselubung, yaitu yang menonjol hanya
gangguan fisik saja seperti sakit kepala, jantung berdebar-debar, nyeri
pinggang, gangguan pencernaan dan lain-lain, sedangkan gangguan jiwa tidak
jelas.
Kurang gizi: kekurangan gizi pada lansia dapat disebabkan
perubahan lingkungan maupun kondisi kesehatan. Faktor lingkungan dapat berupa
ketidaktahuan untuk memilih makanan yang bergizi, isolasi sosial (terasing dari
masyarakat) terutama karena gangguan pancaindera, kemiskinan, hidup seorang
diri yang terutama terjadi pada pria yang sangat tua dan baru kehilangan
pasangan hidup, sedangkan faktor kondisi kesehatan berupa penyakit fisik,
mental, gangguan tidur, alkoholisme, obat-obatan dan lain-lain.
Tidak punya uang: dengan semakin bertambahnya usia maka
kemampuan fisik dan mental akan berkurang secara perlahan-lahan, yang
menyebabkan ketidakmampuan tubuh dalam mengerjakan atau menyelesaikan
pekerjaannya sehingga tidak dapat memberikan penghasilan.Untuk dapat menikmati
masa tua yang bahagia kelak diperlukan paling sedikit tiga syarat, yaitu
:memiliki uang yang diperlukan yang paling sedikit dapat memenuhi kebutuhan
hidup sehari-hari, memiliki tempat tinggal yang layak, mempunyai peranan
di dalam menjalani masa tuanya.
Penyakit akibat
obat-obatan: salah
satu yang sering didapati pada lansia adalah menderita penyakit lebih dari satu
jenis sehingga membutuhkan obat yang lebih banyak, apalagi sebahagian lansia
sering menggunakan obat dalam jangka waktu yang lama tanpa pengawasan dokter
dapat menyebabkan timbulnya penyakit akibat pemakaian obat-obat yaqng digunakan.
Gangguan tidur: dua proses normal yang paling penting di dalam
kehidupan manusia adalah makan dan tidur. Walaupun keduanya sangat penting akan
tetapi karena sangat rutin maka kita sering melupakan akan proses itu dan baru
setelah adanya gangguan pada kedua proses tersebut maka kita ingat akan
pentingnya kedua keadaan ini.
Jadi
dalam keadaan normal (sehat) maka pada umumnya manusia dapat menikmati makan
enak dan tidur nyenyak. Berbagai keluhan gangguan tidur yang sering dilaporkan
oleh para lansia, yakni sulit untuk masuk dalam proses tidur. tidurnya
tidak dalam dan mudah terbangun, tidurnya banyak mimpi, jika terbangun
sukar tidur kembali, terbangun dinihari, lesu setelah bangun dipagi hari.
Daya tahan tubuh yang menurun: daya tahan tubuh yang menurun pada lansia merupakan salah satu fungsi tubuh yang terganggu dengan bertambahnya umur seseorang walaupun tidak selamanya hal ini disebabkan oleh proses menua, tetapi dapat pula karena berbagai keadaan seperti penyakit yang sudah lama diderita (menahun) maupun penyakit yang baru saja diderita (akut) dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh seseorang. Demikian juga penggunaan berbagai obat, keadaan gizi yang kurang, penurunan fungsi organ-organ tubuh dan lain-lain.
Impotensi: merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan sanggama yang memuaskan yang terjadi paling sedikit 3 bulan.
Daya tahan tubuh yang menurun: daya tahan tubuh yang menurun pada lansia merupakan salah satu fungsi tubuh yang terganggu dengan bertambahnya umur seseorang walaupun tidak selamanya hal ini disebabkan oleh proses menua, tetapi dapat pula karena berbagai keadaan seperti penyakit yang sudah lama diderita (menahun) maupun penyakit yang baru saja diderita (akut) dapat menyebabkan penurunan daya tahan tubuh seseorang. Demikian juga penggunaan berbagai obat, keadaan gizi yang kurang, penurunan fungsi organ-organ tubuh dan lain-lain.
Impotensi: merupakan ketidakmampuan untuk mencapai dan atau mempertahankan ereksi yang cukup untuk melakukan sanggama yang memuaskan yang terjadi paling sedikit 3 bulan.
Menurut
Massachusetts Male Aging Study (MMAS) bahwa penelitian yang dilakukan pada pria
usia 40-70 tahun yang diwawancarai ternyata 52 % menderita disfungsi ereksi,
yang terdiri dari disfungsi ereksi total 10 %, disfungsi ereksi sedang 25 % dan
minimal 17 %.
Penyebab
disfungsi ereksi pada lansia adalah hambatan aliran darah ke dalam alat kelamin
sebagai adanya kekakuan pada dinding pembuluh darah (arteriosklerosis) baik
karena proses menua maupun penyakit, dan juga berkurangnya sel-sel otot polos
yang terdapat pada alat kelamin serta berkurangnya kepekaan dari alat kelamin
pria terhadap rangsangan.
I.
Asuhan Keperawatan
Inkontinensia
I.
Pengkajian
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
1. Identitas klien
Meliputi nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, alamat, suku bangsa, tanggal, jam MRS, nomor registrasi, dan diagnosa medis.
2. Riwayat kesehatan
- Riwayat kesehatan sekarang
Berapakah frekuensi inkonteninsianya, apakah ada sesuatu yang mendahului inkonteninsia (stres, ketakutan, tertawa, gerakan), masukan cairan, usia/kondisi fisik, kekuatan dorongan/aliran jumlah cairan berkenaan dengan waktu miksi. Apakah ada penggunaan diuretik, terasa ingin berkemih sebelum terjadi inkontenin, apakah terjadi ketidakmampuan.
- Riwayat kesehatan dahulu
Apakah klien pernah mengalami penyakit serupa sebelumnya, riwayat urinasi dan catatan eliminasi klien, apakah pernah terjadi trauma/cedera genitourinarius, pembedahan ginjal, infeksi saluran kemih dan apakah dirawat dirumah sakit.
- Riwayat kesehatan keluarga
Tanyakan apakah ada anggota keluarga lain yang menderita penyakit serupa dengan klien dan apakah ada riwayat penyakit bawaan atau keturunan, penyakit ginjal bawaan/bukan bawaan.
3. Pemeriksaan fisik
- Keadaan umum
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia
Klien tampak lemas dan tanda tanda vital terjadi peningkatan karena respon dari terjadinya inkontinensia
4. Pemeriksaan Sistem :
a.
B1 (breathing)
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas, sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.
b.
B2 (blood)
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
Peningkatan tekanan darah, biasanya pasien bingung dan gelisah
c.
B3 (brain)
Kesadaran biasanya sadar penuh
Kesadaran biasanya sadar penuh
d.
B4 (bladder)
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
Inspeksi : periksa warna, bau, banyaknya urine biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi pada bladder, pembesaran daerah suprapubik lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan nyeri saat berkemih menandakan disuria akibat dari infeksi, apakah klien terpasang kateter sebelumnya.
Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar di urera luar sewaktu kencing / dapat juga di luar waktu kencing.
e.
B5 (bowel)
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
Bising usus adakah peningkatan atau penurunan, Adanya nyeri tekan abdomen, adanya ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan palpasi pada ginjal.
f.
B6 (bone)
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada persendian.
5. Pengkajian Psikososial
• Bersedih
• Murung
• Mudah tersinggung
• Mudah marah
• Isolasi social
• Perubahan peran
II. Diagnosa
1. Gangguan
rasa nyaman nyeri b/d penyebaran infeksi dari uretra
2. Kekurangan Volum cairan b/d diuresis osmotic
3. Resiko tinggi infeksi b/d glukosa darah yang
tinggi (hiperglikemia)
4. Isolasi
Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol dan bau urine
III. Intervensi
NO
|
DX KEP
|
TUJUAN
|
KRITERIA HASIL
|
INTERVENSI
|
RASIONAL
|
1.
|
Gangguan rasa nyaman nyeri b/d
penyebaran infeksi dari uretra
|
Setelah
dilakukan tindakan kepeawatan selama 2×24 jam diharapakan nyeri dapat
teratasi atau berkurang
|
1. Nyeri
terkntrol atau hilang
2. Klien
dapat kembali tenang dan rileks
3. Klien
mampu beristirahat seperti biasanya
|
Mandiri :
Contoh :
Membantu pasie
memberikan posisi yang nyaman, mendorong penggunaan relaksasi atau latihan
nafas dalam
4.
Kolaborasi Berikan obat sesuai indikasi.
|
1.
Memberi kan informasi untuk membantu dalam
menentukan pilihan dan keefektifan intervensi
2.
Membantu mengevaluasi tempat obstruksi dan kemajuan
gerakan kalkulus
3.
Meningkat-kan relaksasi, memfokus-kan kembali
perhatian dan dapat meningkat-kan kembali kemampuan koping
4.
Meng-hilangkan nyeri, menentukan obat yang tepat
untuk mencegah fluktuasi nyeri ber-hubungan dengan tegangan
5.
Digunakan untuk me-ningkatkan relaksasi, dan
sirkulasi
|
2.
|
Kekurangan
Volum cairan b/d diuresis osmotic
|
Klien
menunjukkan hidrasi yang adekuat/ kekurangan cairan dapat diatasi
|
4. Intake dan
output seimbang
|
3.
Pantau masukan dan pengeluaran urine
4. Timbang BB
setiap hari
5. Pertahankan
untuk memberikan cairan paling sedikit 2500 ml/hari dalam batas yang dapat
ditoleransi jantung
6.
Kolaborasi:
·
Berikan terapi cairan sesuai indikasi
|
1. Untuk
memperoleh data tentang penyakit pasien, agar dapat melakukan tindakan sesuai
yang dibutuhka
2. Indicator
hidrasi/volum sirkulasi dan kebutuhan intervensi.
3. Membandingkan
keluaran actual dan yang diantisipasi membantu dalam evaluasi adanya/ derajat
stasis/ kerusakan ginjal
4. Peningkatan
BB yang cepat mungkin berhubungan dengan retensi
5. Memper-tahankan
keseimbangan cairan
6. Memenuhi
kebutuhan cairan tubuh
7. Mempertahankan
volum sirkulasi, meningkatkan fungsi ginjal
|
3.
|
Resiko tinggi infeksi b/d glukosa
darah yang tinggi (hiperglikemia)
|
Setelah dilakukan tindakan
kepeawatan selama ..×24 jam
diharapakan Resiko
tinggi infeksi dapat teratasi dengan kriteria
hasil
|
1.
Kebersihan perineal teratasi
2.
Menjaga kebersihan kateter
|
Mandiri:
1.Berikan perawatan perineal dengan
air sabun setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal
sesegera mungkin.
2. Jika di pasang kateter indwelling,
berikan perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu mandi pagi
dan pada waktu akan tidur) dan setelah buang air besar Kecuali
dikontraindikasikan, ubah posisi pasien setiap 2jam dan anjurkan masukan
sekurang-kurangnya 2400 ml / hari. Bantu melakukan ambulasi sesuai dengan
kebutuhan.
3.Berikan terapi antibiotoik
|
1. Untuk mencegah kontaminasi uretra.
2.Kateter memberikan jalan pada
bakteri untuk memasuki kandung kemih dan naik ke saluran perkemihan
3.Untuk mencegah stasis urine.
4.Mungkin diberikan secara
profilaktik sehubungan dengan peningkatn resiko infeksi
|
4.
|
isolasi
Sosial berhubungan dengan keadaan yang memalukan akibat mengompol dan bau
urine
|
Setelah dilakukan tindakan kepeawatan selama ..×24 jam diharapakan isolasi
sosial dapat teratasi
|
Dengan kriteria hasil :
1. pasien tidak merasa malu
|
1. Dorong pasien / orang terdekat
untuk mengatakan perasaan. Akui kenormalan perasaan marah, depresi, dan
kedudukan karena kehilangan.
2.
Perhatikan perilaku menarik diri, peningkatan ketergantungan, manipulasi atau
tidak terlibat pada asuhan.
3. Berikan kesempatan pada klien
untuk menerima keadaannya melalui partisipasi dalam perawatan diri.
|
1. Memberikan kesempatan menerima
isu / salah konsep. Membantu pasien / orang terdekat menyadari bahwa perasaan
yang dialami tidak biasa dan bahwa perasaan bersalah pada mereka tidak perlu
/ membantu. Pasien perlu mengenali perasaan sebelum mereka dapat menerimanya
secara efektif.
2. Dugaan
masalah pada penyesuaian yang memerlukan evaluasi lanjut dan terapi lebih
efektif.
3. Kemandirian dalam perawatan memperbaiki harga diri.
|
|
|
|
|
|
|
IV. Implementasi
Disesuaikan dengan Intervensi.
V. Evaluasi
a. Pasien merasakan berkurangnya nyeri.
b. Kebutuhan cairan pasien
terpenuhi
c. Resiko infeksi berkurang.
d. Pasien akan mengkomnikasikan perasaan positif
mengenai perubahan citra tubuh.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Inkontinensia
adalah ketidakmampuan menahan air kencing
yang dapat membuat permasalahan sosial, medik maupun ekonomi yang berkaitan
dengan kebersihan/kesehatan seseorang.
Terdapat
sejumlah alasan terjadinya inkontinensia, baik yang disebabkan oleh semua
factor diatas maupun masalah klinis yang berhubungan. Alasan utama pada lansia
adalah adanya “ ketidakstabilan kandung kemih“. Meskipun berbagai penyebab
inkontinensia menghasilkan proses yang sederhana, tetapi inkontinensia perlu
dikategorisasikan, seperti yang telah ditetapkan oleh Perhimpunan Kontinensia
Internasional.
Untuk memahami pasien geriatri Kane
& Ouslander merumuskannya dalam Geriatric Giants (14 I) yaitu: Immobility, Instability, Intellectual ¯, Isolation, Incontinence,
Impotence, Immunodeficiency, Infection, Insomnia, Iatrogenesis, Impairment of vision, hearing, taste, smell,
communication, convalescence, Inanitation
(malnutrisi), Impecunity (tidak
punya uang), dan Irritable
bowel.
DAFTAR PUSTAKA
Stockslager, Jaime L. 2007 . Buku Saku Gerontik edisi: 2 . Jakarta
: EGC.
Stanley M, Patricia GB. 2006 . Buku Ajar Keperawatan Gerontik .
Jakarta : EGC.
Watson, Roger. 2003. Perawatan pada Lansia. Jakarta : EGC
17 Maret
2014, http://akperku.blogspot.com/2009/06/konsep-dasar-keperawatan-gerontik.html
17 Maret
2014,
http://www.smallcrab.com/lanjut-usia/654-beberapa-masalah-dan-gangguan-yang-sering-terjadi-pada-lansia.
Komentar
Posting Komentar